Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Ekonomi’ Category

Sebuah Tanggapan terhadap berita berjudul PAD Bener Meriah Minus 30 Persen, di Harian Serambi Tanggal 26/10/2008.

***

Bismillahirrahmanirrahim. Bicara tentang Pengelolaan Keuangan Daerah memang sungguh menarik. Kasus tidak tercapainya target PAD ini tidak saja terjadi di Kabupaten Bener Meriah tapi juga di beberapa kabupaten di Indonesia. Alasannya cukup beragam, tapi dari semua alasan yang disebutkan, satu yang tidak pernah absen yakni kesalahan penetapan Target Pajak/Retribusi.

Kita ketahui bersama bahwa dampak dari tidak tercapainya target PAD pada tahun berjalan akan menghambat pembangunan di Bener Meriah pada periode yang akan datang. Walaupun biasanya pemerintah pusat akan menutupi kekurangannya dengan Dana Perimbangan, serta tambahan dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun yang lalu (SILPA), itupun jika ada dan mencukupi, namun apabila tidak maka program yang telah direncanakan akan ditinjau kembali, bahkan tidak jarang dibatalkan pelaksanaanya demi memotong pengeluaran pemerintah pada tahun berikutnya.

Sedikit penjelasan mengenai PAD , berdasarkan sumbernya, PAD (Pendapatan asli daerah) berasal dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, serta lain-lain PAD yang sah. Khusus mengenai Pajak Daerah, seperti disinggung dalam berita sebelumnya (lihat link di atas), disebutkan bahwa Pemda Bener Meriah mengalami kesalahan dalam penetapan Target Penerimaan, tentu harus segera dicarikan solusinya. Mungkin benar yang dikatakan oleh beberapa pihak (di dalam milis arigayo), seperti kemungkinan terjadi kecurangan, baik kecurangan yang dilakukan antara Petugas Pajak maupun Wajib Pajak atau kecurangan yang dilakukan oleh keduanya, caranya bisa dalam bentuk penyampaian laporan keuangan ganda, laporan yang baik untuk internal/bank sedangkan yang kondisinya buruk (atau sengaja dibuat buruk setelah diakali) untuk digunakan sebagai dasar penetapan Pajak, misalnya PPh.

Hal ini kerap terjadi di dalam perusahaan yang suka berbuat curang, tujuannya agar pengenaan pajak terhadap objek pajak yang dibayar oleh wajib pajak menjadi ringan. Atau kasus lain yang sering terjadi dalam masyarakat awam adalah kecurangan pada saat pengisian formulir SPPT PBB, data yang disampaikan dalam isian formulir tersebut tidak sesuai dengan kondisi objek miliknya, atau juga seperti pencatatan Transaksi dalam akte Jual beli oleh Notaris, dimana Nilai Transaksi yang dimasukkan didalam akte lebih rendah daripada transkasi sebenarnya, ini juga dimaksudnkan agar PPN yang dikenakan untuk transaksi menjadi lebih kecil, dan masih banyak contoh-contoh kasus lainnya.

Tapi khusus untuk kasus Pemda Bener Meriah ini, saya melihatnya dari sudut pandang lain. Saya melihat masih banyak sumberdaya yang sebenarnya dapat dikelola dengan baik, sehingga dari sana diharapkan memperoleh pemasukan pajak yang besar. Misalnya di Bidang pertanian dan/ pertambangan. Diantara dua bidang ini, harapan saya Pemda lebih konsentrasi untuk mengelola atau melakukan treatment khusus terhadap pendapatan daerah yang berasal dari Pertanian. Alasannya karena bidang pertanian memiliki potensi yang tidak kalah besar sebagai sumber PAD baik berupa pajak atau retribusi hasil pertanian dan lebih ramah lingkungan, daripada bidang Tambang yang kurang berpihak kepada masyarakat setempat, dan juga karena Pertanian adalah “habitatnya”  masyarakat Gayo.

Sumber pendapatan lain yang dapat dimaksimalkan seperti PBB misalnya, hal yang bisa dilakukan untuk peningkatan dari PBB adalah motivasi kepada dua pihak yaitu Wajib Pajak dan Pemungut Pajak berupa punishment dan reward. Bentuknya bisa seperti kompensasi berupa pengembalian uang dalam persentase/besaran tertentu bagi Wajib Pajak yang telah membayar pajak sebelum jatuh tempo, sedangkan bagi Pemungutn Pajak yang mencapai target atau yang melebihi target yang telah ditetapkan agar diberikan bonus (semacam Fee resmi), ini akan membuat keduanya semangat untuk membayar dan memungut Pajak, contoh Pemda yang telah melakukannya adalah Pemda Sleman. Pemda ini memiliki SDA yang relatif sedikit, namun mampu menghasilkan PAD yang cukup baik.

Kemudian mengenai Pembagian Penerimaan Negara. Pembagian penerimaan pajak ini masing-masing besarnya berbeda tergantung jenis pajaknya (PBB, BPHTB, PPh dan yang berasal dari pungutan SDA). Seperti PBB misalnya, PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang diperoleh nantinya akan dibagi dengan imbangan 10% untuk pemerintah pusat, sedangkan daerah (Propinsi & Kabupaten/ Kota) mendapat bagian yang lebih besar yaitu 90%. Kemudian dari 90% yang diterima pemerintah daerah, dibagi lagi untuk Propinsi yang bersangkutan 16,2%, Kabupaten/Kota yang bersangkutan 64,8 % dan sisanya untuk biaya pemungutan.

Sedangkan untuk ekstensifkasi sumber-sumber pajak yang lain, kaitannya untuk menutup atau meningkatkan PAD bisa dilakukan  jika daerah Bener Meriah cukup kondusif sebagai tempat berinvestasi. Untuk mengetahui investasi apa saja yang potensial di daerah ini, ada hal yang bisa dilakukan. Hal yang harus dilakukan pertama kali oleh Pemda Bener Meriah adalah dengan mengetahui aset apa saja yang dimiliki, karena sebagian sebagian besar yang terjadi pada pemda-pemda di Indonesia, baik Pemerintah baik Pusat dan Daerah tidak mengetahui secara keseluruhan aset-aset yang dimilikinya. Maka sebaiknya sesegera mungkin Pemda mulai dengan menginventarisasi dan mengelompokkan seluruh aset-aset yang ada, dan kemudian dilanjutkan dengan Penilaian dan Pengelolaan Aset dengan menerapkan manajemen aset yang terpadu dan berkesinambungan.

Pengelolaan/ manajemen asset daerah ini memiliki banyak manfaat, diantaranya dapat memetakan dengan jelas sumber-sumber PAD, mencegah Korupsi, mencegah Pemborosan Anggaran dan merupakan usaha Tata kelola Barang Milik Negara (BMN) menjadi lebih baik.

Contohnya seperti yang pernah dilakukan oleh Pemkab Kutai Kertanegara (Kuker) pada tahun 2007 , Pemda tersebut melaksanakan tender terbuka dalam beberapa paket Pekerjaan dengan satu judul proyek, yaitu Studi Optimalisasi Aset Daerah. Didalamnya terdapat pekerjaan Penilaian Aset (Tetap) milik Pemda (seperti Tanah, Jalan, Jembatan, Bangunan, Mesin & Peralatan, dll). Aset-aset yang dinilai ini merupakan data awal hasil dari inventarisasi yang dilakukan oleh masing-masing SKPD instansi di Pemda. Dan dibarengi dengan Pekerjaan Studi Optimalisasi Aset yang bertujuan untuk menentukan strategi dan program dalam mengoptimalkan Aset yang ada, sehingga aset-aset pemda tersebut memberikan benefit yang lebih besar sekaligus  meminimalisir pengeluaran untuk pemeliharaan dan pengadaan aset selanjutnya.

Dari hasil pekerjaan pertama, yaitu Penilaian, akan diketahui Nilai Wajar dari masing-masing aset, baik asset operasional dan non operasional (asset berlebih), kemudian juga terungkap mengenai kelengkapan legalitas, kondisi Aset, hingga status yang menempati (yang menggunakan) dari masing-masing asset tersebut. Mungkin orang awam berpikir bahwa Pemda tahu benar siapa-siapa pengguna asset Negara/Pemda, padahal kenyataannya tidak demikian. Banyak asset yang telah berpindah tangan/berubah kepemilikan karena tidak adanya pengelolaan asset yang benar dan bahkan banyak aset yang memiliki legalitas kepemilikan ganda atau berstatus quo. Tentu ini merupakan suatu masalah besar yang harus dibenahi.

Selanjutnya hasil dari penilaian ini yang nanti akan digunakan sebagai angka-angka acuan pada neraca awal untuk setiap nilai aktiva (tetap atau lancar berupa persediaan) dalam laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD). Menurut catatan saya, sebagian besar Nilai Aset yang ada pada laporan Neraca keuangan daerah di Indonesia, bisa dikatakan semu. Semu artinya tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi dilapangan atau pada kondisi aset sebenarnya. Banyak Aset yang rusak bahkan sudah hilang namun masih tercatat dengan keterangan “Baik” di dalam Laporan Keuangan, atau sebaliknya Aset yang masih baik, tapi karena diterapkannya Depresiasi maka tercatat di Laporan Keuangan Pemda menjadi sangat kecil.

Karena kecilnya angka (bisa hanya Rp. 1,-) yang tercatat oleh pengelola keuangan daerah dikwatirkan terhapus dari pencatatan sebagai Aset Daerah. Padahal penghapusan Aset Daerah harus melalui persetujuan Menteri Keuangan/ atau DPRD (tergantung Nilai Aset). Hal yang pasti adalah akuntabilitas dan penguasaan aset-aset ini sangat riskan jika tidak benar-benar diawasi dengan baik. Inilah penyebab utama mengapa BPK sampai saat ini memberikan pernyataan disclaimer (tidak memberikan opini) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) akibat dari pengelolaan Barang Milik Negara yang belum dilakukan dengan baik. Bahkan di Indonesia tercatat hanya 1 % saja Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang berstatus wajar tanpa pengecualian.

Fungsi nilai-nilai dari laporan Penilaian ini juga nantinya dapat menjadi dasar pertimbangan Pemerintah Daerah dalam menerbitkan Obligasi Daerah (seperti yang akan dilakukan Propinsi Jakarta pada tahun 2009 mendatang). Obligasi daerah dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan dana dari masyarakat yang dapat digunakan untuk biaya investasi di bidang prasarana dan sarana yang menghasilkan penerimaan. Dan masih banyak Benefit lain jika pemda telah memiliki Laporan Penilaian dari Penilai Independent.

Disaat yang sama, ketika Pekerjaan Penilaian Aset Daerah dilaksanakan, Paket pekerjaan Study Optimalisasi Aset juga dilakukan. Untuk pekerjaan ini, Pemda Kukar meminta (didalam tender) agar dilakukan oleh 33 Orang Tenaga Ahli pada masing-masing bidang, dengan mensyaratkan pengalaman profesional sedikitnya 15 tahun. Ketika itu saya ingat, tenaga ahli tersebut sebagian adalah profesional dan akademisi dari ITB dan IPB. Mereka juga dibantu oleh masing-masing asisten ahli untuk menganalisa potensi Sumber Daya daerah Pemkab Kukar. Mulai dari Pertanian & Perikanan, Pertambangan, Geologi, Industri, Perencanaan Wilayah dan Lingkungan serta beberapa orang dari disipilin ilmu terutama Tenaga Ahli di Bidang Penilaian (Spesialis Asset Valuation), yang saat ini merupakan Profesi tersendiri, dibawah naungan Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai, Departemen Keuangan. Penilai dan Akuntan adalah dua profesi yang berbeda. Penilai memiliki organisasi resmi yaitu untuk Profesi adalah MAPPI  kependekan dari Masyarakat Profesi Penilai Indonesia dan GAPPI  atau Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia yang menjadi naungan Perusahaan/ Asosiasi Penilai di Indonesia.

Dari hasil pekerjaan yang mereka lakukan, mulai dari Survey, uji laboratorium hingga mengolah data, hasilnya kemudian dibuat dalam laporan Studi Optimalisasi Aset Pemkab Kukar, isinya diantaranya rekomendasi dan analisis Potensi Daerah yang dapat dikembangkan menjadi sumber-sumbaer PAD. Laporan Penilaian Aset & Laporan Study Optimalisasi Aset Daerah ini kemudian memberi gambaran secara jelas, bagaimana kondisi ril Aset dan potensi Sumber Daya Alam yang dimiliki Pemkab Kukar, kemudian investasi apa saja yang dapat dikembangkan dan memiliki potensi besar sebagai sumber-sumber PAD. Laporan-laporan seperti ini yang kemudian diseminarkan pada acara-acara seperti Invesment Expo baik di dalam maupun di luar negeri, tujuannya untuk menggaet Investor Lokal dan Asing agar mau menanamkan modalnya di Daerah. Hasil studi yang pernah dilakukan pemda Kukar, bisa anda lihat di link http://www.kutaikartanegarakab.go.id/ (lebih jauh, lihat link Peluang Investasi kemudian web link Asset Manajemen.)

Selama ini yang sering menjadi kendala umum dan selalu dikeluhkan oleh para investor dalam merencanakan Investasi disuatu daerah termasuk Tanah Gayo adalah kurangnya informasi Potensi Sumber Daya Alam yang jelas dan rinci yang dikeluarkan oleh Pemda, Buruknya Infrastruktur, Perijinan yang rumit karena tumpang tindihnya peraturan dan kewenangan, banyaknya pungli serta kondisi keamanan setempat. Maka dengan dilakukannya Proyek Study Optimalisasi aset ini satu persatu kendala diatas dapat diatasi, tinggal bagaimana terwujudnya birokrasi yang baik untuk perijinan serta keamanan yang terjamin sehingga mendukung setiap penyelenggaraan kegiatan investasi.

Setelah Proyek Optimalisasi Aset Daerah yang didalamnya mencakup Penilaian Aset Daerah dan Study Optimalisasi Aset Daerah dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah Pengawasan dan Pengendalian dari setiap Kegiatan Manajemen Aset yang sedang dilakukan, dan terakhir dilakukan Evaluasi dari semua hasil-hasil kegiatan yang dicapai sebelumnya untuk menentukan kebijakan yang akan datang. Pada prinsipnya Proyek Study Optimalisasi Aset Daerah ini dilakukan hanya sekali dalam periode tertentu, karena sifatnya lebih kepada membuat Master Plan dan memerikan rekomendasi teknis. Sehingga pengawan dan pengendalian sangat diperlukan untuk mengawal jalannya program-program tersebut. Sedangkan Penilaian Aset Daerah, merupakan kegiatan Berkala, dalam rancangan Undang-undang Penilaian yang masih digodok legislatif, Penilaian Aset dilakukan sedikitnya 3 tahun sekali.

Penilaian ini juga merupakan salah satu bentuk yang dapat menggambarkan kinerja Pemerintah baik di pusat maupun daerah melalui perkembangan nilai Aktiva pada Neraca Keuangan Pemerintah, yang masuk kedalam Laporan Keuangan (audit Laporan Keuangan Daerah dilakukan oleh Akuntan negara seperti BPK, sedangkan Penilaian/menetukan nilai Aktiva, dilakukan oleh Penilai Independent).  Sejauhmana Pemerintah yang sedang berkuasa menjalankan kewajiban dan fungsinya dengan baik dapat diukur dengan jelas dalam laporan keuangan (LK) pemda dan laporan kinerja instansi pemerintah (LAKIP)

Penilaian Aset Daerah inilah nantinya akan mempermudah manajemen Aset (Asset Management). Contoh yang paling sederhana dan sering kita lihat atau dengar adalah dalam hal pemanfaatan/penggunaan aset-aset pemda. Ketika ada event/ acara rapat/seminar yang diadakan penyelenggara pemerintahan baik legislatif (DPRD) maupun eksekutif,  mereka seringkali menyewa Ruang Rapat/Ball Room di Hotel yang biayanya relatif mahal.  Sementara fasilitas ruang Rapat atau Aula (Gedung Serba Guna/GSG) yang sudah ada di Kantor milik Pemda tidak dimanfaatkan dengan semestinya, bahkan terkesan mubazir karena jarang difungsikan. Alasannya pun cukup beragam, bisa karena tidak nyaman, terlalu sempit dan lain-lain. Padahal, akan jauh lebih baik jika aset milik pemda sendiri yang digunakan. Kekurangan-kekurangan yang ada pada Aula/Ruang Rapat/GSG, agar dibenahi menjadi lebih baik sehingga nyaman untuk digunakan dan pengeluaran pemerintah dapat diminimalisir, bahkan Aset ini dapat pula disewakan kepada Pihak lain yang membutuhkan (tentunya jika sedang tidak dipakai oleh pemda), maka ini akan memberikan tambahan PAD bagi daerah.

Coba anda bayangkan jika ini juga terjadi pada setiap instansi/kantor/badan yang ada di pemerintah daerah atau bahkan pemerintah Pusat, berapa banyak pemborosan dana yang dikeluarkan dan berapa besar uang rakyat yang dihambur-hamburkan untuk pengeluaran yang sebenarnya dapat dihemat. Bukankah lebih baik Anggarannya dialihkan untuk Penyediaan Fasilitas Pendidikan, Penyediaan Sarana Kesehatan dan lain-lain yang lebih perlu. Inilah salah satu fungsi Asset Manajemen mengapa saat ini sangat dibutuhkan, baik di tatanan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Mungkin banyak kasus lainnya yang ingin saya sampaikan, namun saya kira ini juga sedikit bisa mewakili dan menggambarkan bagaimana Manajeman Aset sebagai solusi mengatasi problem PAD serta menjadikannya sebagai pendorong terwujudnya Good Governance. Dan semoga Pemda Bener Meriah mau menerapkan Manajemen Aset dengan baik, manfaatnya Pemda Bener Meriah bisa lebih teliti dalam penetapkan Target PAD dari sumber-sumber yang benar-benar prospek, bukan asal terlihat besar, namun tidak mampu dicapai. Walaupun sebenarnya banyak Pemerintah Daerah di Indonesia menetapkan Target Penerimaan rata-rata 40% dibawah Potensi masing-masing sumber yang mungkin dapat dicapai, hal disebabkan agar mencari posisi aman dalam pencapaian target-target penerimaan tersebut, namun saya rasa tidak perlu ditiru oleh pemda-pemda di Tanah Gayo. Sebaiknya yang dilakukan adalah benar-benar menghitung Potensi/Proyeksi penerimaan dengan cermat menggunakan asumsi-asumsi yang wajar, walaupun nantinya bisa terjadi kegagalan karena situasi dan kondisi yang terjadi saat itu, baik itu karena bencana alam, masalah kemanan atau kondisi ekonomi global yang kacau seperti saat ini, namun jalan dan langkah yang dilakukan telah benar.

Kemudian mengenai tunggakan Pajak yang dilakukan PT. Alas Helau yang disebutkan turut menyumbang’minus’nya PAD (seperti yang tertulis dalam berita diatas – klik link), harapan kita semua semoga dapat diselesaikan dengan baik, dengan cara negosiasi yang wajar dan transparan. Kondisi terakhir  PT. Alas Helau ini tidak mampu membayar pajak, karena terhentinya produksi akibat pelarangan Penebangan Pohon di dalam wilayah hutan Aceh, pelarangan tersebut  ditegaskan dalam memoratorium penebangan hutan oleh Gubernur NAD. Saya kira, untuk mengoptimalkan kinerja terhadap pemenuhan target PAD, pemda Bener Meriah lebih baik konsentrasi pada penggalian potensi yang ada yang diikuti dengan Asset Management yang baik. Sebab, jika menunggu Pihak PT. Alas Helau membayar cicilan rasanya cukup sulit, kecuali adanya keputusan Pailit dari pengadilan dan kemudian seluruh Asetyang ada  dijual untuk membayar tunggakan Pajak (itu juga kalau masih ada yang bisa dijual, dan Pengadilan tidak menghapus tunggakan pajaknya)

Sedikit menyinggung mengenai Inflasi di Tanah Gayo, saya pribadi mengharapkan pemerintah daerah dapat menertibkan agen-agen pengecer BBM yang sudah sangat banyak di Tanah Gayo, bahkan lokasi mereka hanya beberapa meter dari lokasi SPBU. Kenyataannya BBM di SPBU habis seketika bukan karena dijual langsung kepada Konsumen langsung, tapi tidak sedikit dijual kepada Agen-agen BBM dahulu. Ketika BBM tersebut dijual kembali oleh agen-agen pengecer, selisih harga resmi di SPBU jika dibandingkan dengan Agen pengecer BBM ini lebih tinggi 20% bahkan lebih. Inilah salah satu penyumbang inflasi yang tinggi di Tanah Gayo.

Terlalu panjang jalur distribusi mengakibatkan biaya lebih tinggi, sehingga ini juga yang menjadi alasan pengelola Transportasi turut menaikkan tarif/sewa Angkutan dan akhirnya berakibat naiknya harga bahan-bahan pokok yang dijual di daerah dingin ini. Sehingga juga turut berimbas pada harga jual hasil pertanian dari tanah Gayo di luar daerah, yang cenderung relatif lebih mahal dari daerah-daerah lain yang memiliki kondisi geografis dan jenis hasil pertanian yang hampir sama dengan Tanah Gayo, misalnya Tanah Karo di Sumut. Biaya Produksi yang lebih tinggi ini pada akhirnya meyebabkan produk pertanian yang dihasilkan dari Petani Tanah Gayo harganya tidak mampu bersaing (secara harga) dengan produk dari daerah lain walaupun kualiatasnya jauh lebih baik, sehingga penjualan atas transkasi hasil pertanian dan lain-lain menjadi sedikit dan tentu saja, sumber retribusi dari pertanian sebagai salah satu jenis PAD yang diterima oleh pemerintah juga menjadi sedikit atau rendah. Ini mungkin tambahan sebab musabab minim atau minusnya PAD Kabupaten Bener Meriah, dan mungkin masih banyak sebab-sebab lain, hingga PAD Bener Meriah, minus 30 %.

Saat ini adalah saat-saat menjelang Pemilu, Saya berharap calon-calon legislatif yang akan bertarung untuk memperebutkan kursi di DPRD tahun 2009 yang akan datang, dapat lebih berpihak kepada Masyarakat dengan Visi Misi dan program-program yang jelas, semoga salah satu di dalam program tersebut adalah mendukung dan proaktif mewujudkan kegiatan berkaitan dengan pengelolaan Asset Management yang mungkin selama ini terlupakan atau karena keterbatasan/kealpaan pemerintah daerah (eksekutif) . Sebab ini merupakan salah satu jalan untuk meretas kemakmuran di Tanah Gayo tercinta. Demikian, Wassalam [Uwein].

Read Full Post »

Tanggapan untuk sebuah berita pada Harian Waspada, terbit Sabtu, 15 November 2008, berjudul Jika mau, kritis di Aceh dapat diatasi.

***

Bismillahirrahmanirrahim. Terlepas siapa menyalahkan siapa, Kebijakan umum Keuangan Daerah untuk daerah otonomi khusus seperti Aceh dan Papua (termasuk Papua Barat) pada Tahun 2008 adalah untuk mendanai program Bidang Pendidikan dan Kesehatan. Khusus untuk Propinsi NAD sendiri, selain 2 program tersebut, Infrastruktur menjadi salah satu dari tiga program utama yang digariskan pemerintah pusat.

Harusnya inilah yang menjadi fokus pemerintah daerah dalam kebijakan pengeluaran keuangan. Karena selama ini yang sering menjadi hambatan untuk di daerah/propinsi lain adalah tidak ada dana, tapi tidak dengan NAD, setelah kita dengar dari media bahwa pemerintah kelabakan mengelola dana triliunan rupiah dan dananya hanya disimpan, sungguh ironis kalau ini terus terjadi dan selalu berulang dari tahun ke tahun. Bisa saja kita tebak, kemungkinan yang akan dilakukan Pemprop selanjutnya adalah membeli Sertifikat Bank Indonesia. Pemerintah Daerah mengamankan dananya di BI dan berharap mendapatkan bunga 9,5 % seperti yang berlaku saat ini. Dana-dana ini nantinya diharapkan akan menambah SILPA pada tahun anggaran yang akan datang. Saya kira kalau ini yang terjadi bukanlah kebijakan yang tepat, harusnya yang menjadi parameter pemerintah daerah adalah pertumbuhan Ekonomi harus semakin meningkat yang timbul dari kegiatan investasi serta perbaikan infrastruktur dan pelayanan publik.

Saya kira dalam dana-dana tersebut ada dana yang diperuntukkan untuk daerah dataran Tinggi Gayo. Jadi teringat apa yang dikatakan Bang Fikar dalam milis Arigayo beberapa waktu yang lalu, ketika beliau mempermasalahkan Produktivitas Kopi yang rendah jika dibandingkan Brazil, Vietnam dan negara-negara lain. Salah satu penyebab utama yang mengakibatkan turunnya produktivitas tanaman keras termasuk kopi adalah umur dari tanaman kopi itu sendiri. Data Harian Kompas pada nopember 2006, pernah menyebutkan kalau tanaman kopi yang ada di Kabupaten  Aceh Tengah (termasuk Bener Meriah) umurnya rata-rata telah diatas 15 tahun, bahkan tidak sedikit yang telah mencapai 30 tahun. Secara Agronomi produktivitas Tanaman Kopi yang baik umur tanaman sampai 15 tahun (mulai pertama kali dipanen usia dua tahun). Jika dibandingkan dengan umur tanaman kopi yang ada di Tanah Gayo saat ini, usianya telah melewati fase produktivitas standar yang berdampak menurunnya produksi hingga tinggal sepertiganya.  Maka tidak heran walaupun perawatan tetap dilakukan, namun hasil yang dicapai tidak sesuai standar, apalagi yang terjadi selama ini malah sebaliknya, banyak kebun yang tidak dirawat, hingga petani merasakan akibatnya (belum lagi ditambah dengan Goncangan Krisis Global yang juga turut memperburuk kondisi ekonomi petani Kopi Gayo).

Seandainya saja, baik Pemerintah Kabupaten dan Propinsi melihat hal ini dengan arif, maka hal yang harus dilakukan adalah membantu petani Kopi Gayo untuk menyediakan bibit-bibit kopi yang unggul dan kemudian membantu mereka melakukan replanting atau mengganti tanaman lama terhadap kebun-kebun milik petani dengan tanaman baru menggunakan bibit-bibit unggul yang dilakukan secara bertahap, dan alangkah lebih baik lagi,  selain dana dari petani sendiri program replanting ini harus didukung pembiayaannya dari pemerintah daerah, salah satunya mungkin dari Dana pembangunan yang menganggur tersebut. Dan kalau alasannya program tersebut belum dianggarkan tahun ini, maka segera anggarkan pada tahun berikutnya.

Untuk infrastruktur juga seperti itu. Pemasalahan Jalan, Jembatan dan Penerangan termasuk Air Bersih mustinya bukan merupakan kendala yang terus terjadi di Tanah Gayo, mengingat besarnya dana yang dimiliki pemerintah Aceh. Bayangkan saja, dana yang menganggur itu ada 80% dari Rp. 10 Triliun  (ini baru dari otsus dan migas), belum lagi dari dana perimbangan lainnya, dan ini akan terus bisa bertambah pada tahun-tahun yang akan datang, atau malah sebaliknya, jika pemerintah daerah tidak dapat memanfaatkannya akan dialihkan untuk daerah lain, seandainya ini yang terjadi, sungguh ironis nasib Tanah Gayo nanti.

Semoga saja pemerintah daerah pandai mengelola dana-dana tersebut agar dapat dinikmati  masyarakat tentunya apabila Pemkab Aceh Tengah dan Pemprop NAD dapat bekerjasama dengan baik, saling percaya satu sama lain, dan juga tidak bisa dilupakan harus didukung dengan pengawasan yang ketat atas pengelolaan/penggunaan dana-dana tersebut. Wassalam [Uwein]

Read Full Post »