Tanggapan untuk sebuah berita pada Harian Waspada, terbit Sabtu, 15 November 2008, berjudul Jika mau, kritis di Aceh dapat diatasi.
***
Bismillahirrahmanirrahim. Terlepas siapa menyalahkan siapa, Kebijakan umum Keuangan Daerah untuk daerah otonomi khusus seperti Aceh dan Papua (termasuk Papua Barat) pada Tahun 2008 adalah untuk mendanai program Bidang Pendidikan dan Kesehatan. Khusus untuk Propinsi NAD sendiri, selain 2 program tersebut, Infrastruktur menjadi salah satu dari tiga program utama yang digariskan pemerintah pusat.
Harusnya inilah yang menjadi fokus pemerintah daerah dalam kebijakan pengeluaran keuangan. Karena selama ini yang sering menjadi hambatan untuk di daerah/propinsi lain adalah tidak ada dana, tapi tidak dengan NAD, setelah kita dengar dari media bahwa pemerintah kelabakan mengelola dana triliunan rupiah dan dananya hanya disimpan, sungguh ironis kalau ini terus terjadi dan selalu berulang dari tahun ke tahun. Bisa saja kita tebak, kemungkinan yang akan dilakukan Pemprop selanjutnya adalah membeli Sertifikat Bank Indonesia. Pemerintah Daerah mengamankan dananya di BI dan berharap mendapatkan bunga 9,5 % seperti yang berlaku saat ini. Dana-dana ini nantinya diharapkan akan menambah SILPA pada tahun anggaran yang akan datang. Saya kira kalau ini yang terjadi bukanlah kebijakan yang tepat, harusnya yang menjadi parameter pemerintah daerah adalah pertumbuhan Ekonomi harus semakin meningkat yang timbul dari kegiatan investasi serta perbaikan infrastruktur dan pelayanan publik.
Saya kira dalam dana-dana tersebut ada dana yang diperuntukkan untuk daerah dataran Tinggi Gayo. Jadi teringat apa yang dikatakan Bang Fikar dalam milis Arigayo beberapa waktu yang lalu, ketika beliau mempermasalahkan Produktivitas Kopi yang rendah jika dibandingkan Brazil, Vietnam dan negara-negara lain. Salah satu penyebab utama yang mengakibatkan turunnya produktivitas tanaman keras termasuk kopi adalah umur dari tanaman kopi itu sendiri. Data Harian Kompas pada nopember 2006, pernah menyebutkan kalau tanaman kopi yang ada di Kabupaten Aceh Tengah (termasuk Bener Meriah) umurnya rata-rata telah diatas 15 tahun, bahkan tidak sedikit yang telah mencapai 30 tahun. Secara Agronomi produktivitas Tanaman Kopi yang baik umur tanaman sampai 15 tahun (mulai pertama kali dipanen usia dua tahun). Jika dibandingkan dengan umur tanaman kopi yang ada di Tanah Gayo saat ini, usianya telah melewati fase produktivitas standar yang berdampak menurunnya produksi hingga tinggal sepertiganya. Maka tidak heran walaupun perawatan tetap dilakukan, namun hasil yang dicapai tidak sesuai standar, apalagi yang terjadi selama ini malah sebaliknya, banyak kebun yang tidak dirawat, hingga petani merasakan akibatnya (belum lagi ditambah dengan Goncangan Krisis Global yang juga turut memperburuk kondisi ekonomi petani Kopi Gayo).
Seandainya saja, baik Pemerintah Kabupaten dan Propinsi melihat hal ini dengan arif, maka hal yang harus dilakukan adalah membantu petani Kopi Gayo untuk menyediakan bibit-bibit kopi yang unggul dan kemudian membantu mereka melakukan replanting atau mengganti tanaman lama terhadap kebun-kebun milik petani dengan tanaman baru menggunakan bibit-bibit unggul yang dilakukan secara bertahap, dan alangkah lebih baik lagi, selain dana dari petani sendiri program replanting ini harus didukung pembiayaannya dari pemerintah daerah, salah satunya mungkin dari Dana pembangunan yang menganggur tersebut. Dan kalau alasannya program tersebut belum dianggarkan tahun ini, maka segera anggarkan pada tahun berikutnya.
Untuk infrastruktur juga seperti itu. Pemasalahan Jalan, Jembatan dan Penerangan termasuk Air Bersih mustinya bukan merupakan kendala yang terus terjadi di Tanah Gayo, mengingat besarnya dana yang dimiliki pemerintah Aceh. Bayangkan saja, dana yang menganggur itu ada 80% dari Rp. 10 Triliun (ini baru dari otsus dan migas), belum lagi dari dana perimbangan lainnya, dan ini akan terus bisa bertambah pada tahun-tahun yang akan datang, atau malah sebaliknya, jika pemerintah daerah tidak dapat memanfaatkannya akan dialihkan untuk daerah lain, seandainya ini yang terjadi, sungguh ironis nasib Tanah Gayo nanti.
Semoga saja pemerintah daerah pandai mengelola dana-dana tersebut agar dapat dinikmati masyarakat tentunya apabila Pemkab Aceh Tengah dan Pemprop NAD dapat bekerjasama dengan baik, saling percaya satu sama lain, dan juga tidak bisa dilupakan harus didukung dengan pengawasan yang ketat atas pengelolaan/penggunaan dana-dana tersebut. Wassalam [Uwein]
Leave a comment